Sejarah Sistem Riba di masa Rasulullah

Posted by Noer Rachman Hamidi on Friday, October 24, 2014



Ada ironi besar di negeri dengan penduduk mayoritas muslim yang masih 87 % ini, pangsa pasar ekonomi syariahnya masih dibawah 5 % setelah 20 tahun lebih diperjuangkan. Apanya yang salah ? mayoritas penduduk belum peduli dengan syar’i tidaknya suatu produk ? atau cara pengembangannya yang salah selama ini ? Saya melihat keduanya menjadi penyebab. Kalau keduanya diperbaiki, mestinya pangsa pasar ekonomi syariah setidaknya bisa mencapai 87 % hanya dalam periode 10 tahun. Bagaimana caranya ?

Kita sebenarnya tidak perlu re-invent the wheel untuk terobosan pasar ini, cukup belajar dari contoh yang sudah sempurna kemudian menirunya sedekat mungkin, maka hasilnya insyaAllah tidak akan jauh berbeda. Dari mana contoh yang sempurna ini bisa kita gali ? Dari mana lagi kalau bukan dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sunnah Rasulullah-pun adalah Al-Qur'an, adapun Al-Qur'an yang dipelihara Allah SWT-pun (QS 15:9) ada di depan kita.

Kota Yathrib  sebelum menjadi Madinah, ekonominya dikuasai penuh oleh Yahudi. Yahudi yang datang dari negeri Syam di utara membawa peradaban yang sudah lebih tinggi dari peradaban orang-orang Arab di Yathrib. Sehingga mulai dari produk dan pasar semua mereka kuasai.

Tetapi keuntungan terbesar mereka dari orang-orang Arab adalah dari riba atas pinjaman-pinjaman berbungan tinggi yang mereka berikan ke para pembesar Arab waktu itu. Melalui cara-cara seperti inilah mereka menguasai lahan-lahan pertanian yang subur di Yathrib dan sekitarnya.

Ini sudah mereka lakukan secara turun temurun lebih dari lima abad lamanya, sejak mereka terusir dari tanah Palestina – ketika mereka dibunuh dan diusir oleh bangsa Romawi dari tanahnya antara tahun 70 -132 M. Dalam perjalanannya ke selatan, setiap ketemu mata air dan tanah subur mereka melakukan intrik-intrik ribawi untuk akhirnya menguasai lahan-lahan subur tersebut.

Dari perjalanan dan intrik-intrik ribawi inilah mereka menguasai Aila, Maqna, Tabuk, Taima , Wadi Al-Qura, Fadak dan Khaibar. Beberapa suku diantaranya bani Quraizah, Bani al_Nadir, Bani Bahdal dan Bani Qainuqa bahkan kemudian menguasai Yathrib dengan cara-cara yang sama.

Kita sekarang di negeri ini mungkin tidak menghadapi Yahudi Zionis in person, tetapi systemnya-pun cukup untuk mereka menguasai sumber-sumber daya alam kita dari tambang, hutan, kebun dan tanah-tanah luas, sampai sumber-sumber air dan energi.

Lantas bagaimana kita bisa menguasai balik ? umat mayoritas ini bila memperoleh porsi yang sama saja per capitanya – seharusnya bisa mengambil balik 87 % dari pasar yang ada ? Ini hanya bisa terjadi bila kita mengikuti persis contoh yang ada. Dan untuk ini tidak perlu lama, karena dalam contoh tersebut – membalik penguasaan pasar itu tidak lebih dari 10 tahun.

Dari full penguasaan  ekonomi Yahudi selama berabad-abad di Yathrib, hanya perlu kurang dari 10 tahun menjadi full penguasaan ekonomi Islam – ketika kota atau negeri itu berubah menjadi Madinah – yaitu sejak hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Transformasi besar dari penguasaan  Yahudi ke penguasaan Islam ini diceritakan lengkap oleh Allah di surat Al-Hasyr untuk pengusiran Bani Al-Nadhir dan di surat Al-Fath untuk penaklukan Khaibar.

Manariknya adalah prinsip dasar ekonomi Islam bahwa harta harus berputar tidak hanya di golongan yang kaya tetapi juga harus sampai golongan yang miskin, juga diletakkan oleh Allah di surat Al-Hasyr ini (QS 59 :7).

Ayat-ayat awal surat Al-Hasyr ini bercerita tentang proses pengusiran Yahudi, bagaimana mereka merubuhkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan kaum muslimin. Juga pelajaran bagaimana mensikapi atau mengelola harta mereka ketika jatuh ke tangan kaum muslimin.

Ayat-ayat sesudahnya (sesudah prinsip dasar ekonomi) bercerita tentang betapa indahnya muamalah antar kaum muslimin yang saling mengutamakan kepentingan saudaranya. Muamalah yang indah ini antara lain tergambar dari beberapa hadits di bawah.

Ketika kaum Muhajirin sudah tiba di Madinah, kaum Anshar ingin membagikan kebun-kebun dan mata air kepada kaum Muhajirin yang telah dipersaudarakan dengan mereka oleh Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wasallam . Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam punya saran yang lebih baik :

“Orang-orang ini (Muhajirin) tidak tahu cara berkebun, mereka datang dari daerah yang tidak ada kebun. Apakah tidak sebaiknya kalian (kaum Anshar) tetap menggarap kebun kalian dan hasilnya saja yang kalian berbagi ?” kaum Anshar kemudian menjawab “Kami mendengar dan kami patuh” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa setelah mendengar jawaban kaum Anshor tersebut, kaum Muhajirin berucap : “Kami tidak pernah melihat orang yang begitu mengorbankan dirinya seperti kaum Anshor, mereka yang tetap bekerja dan mereka berbagi hasil dengan kami. Kami berpikir seluruh pahala pasti untuk mereka”. Mendengar ucapan ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “ Tidak, selama kalian menghargai dan mendoaakan kesejahteraan mereka, kalian juga ikut mendapatkan pahalanya” (Musnad Ahmad).

Setelah pengusiran Bani Nadhir yang diceritakan di awal surat Al-Hasyr tersebut, ladang-ladang mereka jatuh ke tangan kaum Muslimin. Rasulullah-pun membuat penawaran kepada kaum Anshor.

“Sekarang salah satu pilihan untuk pengelolaannya adalah menggabungkan lahan-lahan kalian dengan kebun dan mata air yang ditinggalkan Yahudi, hasilnya kemudian kalian berbagi dengan kaum Muhajirin”. Atau : “Kalian ambil balik lahan-lahan kalian (yang tadinya dipakai untuk berbagi), dan kebun-kebun yang ditinggalkan Yahudi untuk kaum Muhajirin”. Kaum Anshor menjawab : “ Tuan, silahkan dibagi kebun-kebun yang ditinggalkan Yahudi tersebut untuk kaum Muhajirin, dan juga kebun-kebun kami (tetap) untuk mereka bila Tuan berkenan”. Mendengar ini Abu Bakar berteriak : “ Semoga Allah memberkahi kalian semua kaum Anshor, dengan segala hal yang terbaik”. (Yahya Bin Adham .Baladhuri – dikutip dari Tafhim Al-Qur’an, Al-Maududi).

Maka dari rangkaian kisah di Al-Qur’an tentang proses beralihnya peradaban ekonomi Yahudi yang sudah berusia lima Abad lebih di Yathrib, ke penguasaan total peradaban ekonomi Islam ketika menjadi Madinah dalam kurang dari satu dasawarsa – kita tinggal menjiplaknya saja.

Untuk lahirnya peradaban ekonomi Islam yang kuat, pertama kita harus ‘meniadakan’ atau ‘mengusir’ kekuatan-keuatan (system) ekonomi Yahudi dari masyarakat kita. Hanya setelah kita tolak keberadaannyalah kita bisa membangun ekonomi yang bener sesuai syariatNya.

Prinsip meniadakan dahulu yang batil dan kemudian menggantikannya dengan yang hak ini juga sama dengan prinsip tauhid ketuhanan kita – meniadakan dahulu ilah (tuhan) selain Allah, baru kemudian mengakui hanya ada satu ilah yaitu Allah - La Ilaha IlaAllah. Ini menunjukkan bahwa dalam menegakkan sendi-sendi ekonomi-pun kita juga tidak terlepas dari pendekatan tauhid kita.

Yang kedua, kita harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh Rasul dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Bila kita diperintahkan agar harta itu tidak boleh hanya berputar di golongan yang kaya saja – maka inilah yang harus kita lakukan !

Yang ketiga, peradaban ekonomi Islam pasti berbeda dengan peradaban ekonomi yang dibangun Yahudi sekian lama.  Kita tidak bisa hanya sekedar mensyariah-kan aqad-aqad perjanjian mereka, meskipun sebagai langkah awal ini juga tidak apa untuk sekedar memulai – tetapi jelas tidak cukup, dan tidak boleh berhenti di sini.

Peradaban ekonomi Islam harus sampai bisa merubah karakter  para pelakunya, menjadi pelaku ekonomi yang santun yang saling mengutamakan kepentingan saudaranya seperti yang tergambar dalam hadits-hadits tersebut di atas.

Bila para pelaku ekonomi syariah bisa seperti kaum Anshor dan Muhajirin tersebut di atas karakternya, maka pastilah masyarakat berbondong-bondong mengikutinya – baik yang muslim bahkan juga yang non-muslim sekalipun.

Bila pangsa pasar ekonomi syariah kita sekarang masih dibawah 1/20 , bisa jadi karena umat ini sendiri belum melihat bedanya, maka sering sekali kita mendengar ungkapan “…ah , sama saja…!”.  Maka inilah yang harus kita lakukan, merubahnya mulai dari diri kita – dari yang kita bisa, sudah ada contoh dan tuntunan yang sempurna untuk ini. InsyaAllah kita bisa ! Description: Sejarah Sistem Riba di masa Rasulullah
Rating: 4.5
Reviewer: google.com
ItemReviewed: Sejarah Sistem Riba di masa Rasulullah
Kami akan sangat berterima kasih apabila anda menyebar luaskan artikel Sejarah Sistem Riba di masa Rasulullah ini pada akun jejaring sosial anda, dengan URL : https://www.nrachman.net/2014/10/sejarah-sistem-riba-di-masa-rasulullah.html

Bookmark and Share

Grafik Harga Dinar terhadap Rupiah