Sungguh ini adalah kalimat Al-Qur’an yang mengatakan manusia lebih buruk dari keledai dan sebangsanya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179)
Siapa yang dikatakan lebih sesat dari binatang ternak tersebut ? adalah orang yang tidak menggunakan hati (akal), mata dan telinganya untuk memahami ayat-ayatNya. Sebaliknya orang-orang yang setiap saat selalu memikirkan ayat-ayat pada ciptaanNya ketika berdiri, duduk, maupun tidur – mereka dipuji Allah sebagai orang-orang yang memahami setiap inti persoalan -ulul albab (QS 3:190-191), dan orang-orang inilah yang akan diberi kebaikan yang banyak – yaitu hikmah (QS 2 :269).
Jadi termasuk yang mana kita ? secara umum melihat gejala yang ada – setiap tahun ada musibah asap, banjir, kekeringan yang silih berganti – nampaknya kita belum memahami dengan baik ayat-ayatNya itu.
Dua musibah yang saat ini terjadi adalah musibah asap yang setiap tahun semakin memburuk, juga musibah kekeringan – yang konon karena efek El-Nino bisa berlangsung sampai akhir tahun. Keduanya tidak menjadi musibah seandainya kita bisa memahami ayat-ayatNya.
Demikian pula masalah kekeringan, tidak akan menjadi musibah seandainya kita bisa memahami ayat-ayatNya dengan baik. Indonesia adalah negeri besar yang memiliki curah hujan terbesar di dunia.
Dengan curah hujan rata-rata yang mencapai sekitar 2,700 mm/tahun – ini tiga kali lebih tinggi dari rata-rata dunia yang hanya 900 mm/tahun. Ini lebih tinggi pula dari India (1,080 mm), Amerika (715 mm), China (645mm), Brasil (1,750 mm), Argentina (591 mm) dan bahkan Thailand (1,625 mm) – yang secara bersama-sama mereka membanjiri negeri ini dengan produk-produk pertaniannya. Dalam hal curah hujan ini, kita hanya kalah dari dua negara tetangga kita yaitu Malaysia (2,875 mm) dan Papua Nugini ( 3,140 mm).
(http://data.worldbank.org/indicator/AG.LND.PRCP.MM).
Bahkan kita harus sangat bersyukur diberi berkah hujan yang begitu banyak – yang tidak terbayangkan banyaknya bila kita bandingkan dengan negara-negara seperti Jordan (111 mm), Qatar (74 mm), Arab Saudi ( 59 mm) dan Mesir yang hanya mendapatkan curah hujan 51 mm per tahun !
Sekering-keringnya wilayah Indonesia yang tergolong kering seperti Gunung Kidul, masyarakatnya masih mendapat rata-rata 1,950 mm/tahun curah hujan. Sumba Timur yang sangat kering-un masih mendapatkan rata-rata 1,000 mm/tahun. Bandingkan ini misalnya dengan Spanyol yang hanya memiliki curah hujan rata-rata 640 mm/tahun tetapi bisa menjadi pusat revolusi pertanian di Abad pertengahan dan masih menjadi penghasil zaitun terbesar dunia hingga kini. Masyarakat Gaza yang curah hujannya hanya di kisaran 430 mm/tahun, kecukupan pangannya tidak mempan diganggu oleh boikot Zionis Israel yang sudah hampir satu dekade berjalan.
Hujan adalah berkah, di mayoritas ayat yang membahas tanaman di Al-Qur’an – Allah memulainya dengan hujan. Artinya jumlah hujan mestinya berkorelasi langsung dengan kemakmuran atau minimal kecukupan pangan. Bila kenyataannya tidak demikian, maka pasti ada hal yang sangat serius yang harus dibenahi di negeri ini – khususnya dalam menyikapi dan mengelola air hujan ini.
Masihkah kita mengeluh kurang air sekarang ? padahal beberapa bulan lagi setelah hujan tiba kita akan segera melupakan kekeringan rutin ini dan kembali membuang air hujan yang sangat bersih dan tawar ke laut. Padahal Gunung Kidul saja bisa menjadi pusat revolusi pertanian yang lebih dasyat dari Spanyol abad pertengahan, atau Sumba yang bisa menjadi lebih menarik potensi pertaniannya melebihi rata-rata negeri Mediterania ?
Sebegitupun kita melalaikan karunianya yang melimpah berupa sumber energi dan air yang selama ini kita sia-siakan - Dia Yang Maha pengasih masih terus memberi kita jalan keluarNya. Dan untuk musibah asap dan kekeringan panjang itu jalan keluarnya sama – yaitu kita disuruh ber-istigfar !
“Maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”” (QS 71:10-12)
Istighfar tentu tidak sebatas ucapan kemudian setelah itu kita membakar hutan lagi dan membuang air hujan ke laut lagi. Setelah kita beristigfar kita harus mengubah pola sikap dan tindak kita dengan 'menanam', terhadap biomassa (ranaman) yang merupakan karunia terbanyak di negeri ini, dan juga berkah dari hujan yang juga termasuk yang terbanyak diberikan ke negeri yang besar ini.
Untuk musibah asap, bersamaan dengan ber-istigfar banyak-banyak – kita juga harus menghentikan membakar hutan atau mencegah terjadinya kebakaran hutan – dengan mengerahkan segenap ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki untuk berikhtiar mengolah biomassa yang ada menjadi salah satu dari Food, Fuel, Fiber, Fodder, dan Feedstock atau kombinasi beberapa diantaranya.
Dengan demikian seluruh biomassa yang ada di hutan kita akan bermanfaat sebagaimana petunjukNya di ayat-ayat tersebut di atas, dan tidak ada lagi yang terbakar percuma yang menimbulkan musibah asap.
Dalam hal air juga demikian, sekering-kering daerah kering di Indonesia – pasti masih lebih banyak hujannya dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang tinggal di Jordan, Qatar, Arab Saudi, Palestina dan Mesir tersebut di atas. Dengan sedikit upaya saja insyaAllah kita akan bisa mengelola air hujan yang ada kemudian menggunakannya secara bijak sepanjang tahun.
Wallahu A'lam.
Description: Manusia seharusnya tidak seperti Keledai.
Rating: 4.5
Reviewer: google.com
ItemReviewed: Manusia seharusnya tidak seperti Keledai.