Riil atau nyata lawan katanya adalah semu, jadi bila dalam bidang ekonomi kita mengenal sektor riil – diluar sektor riil ini berarti bisa disebut sektor semu ? Aneh kita mendengarnya – tetapi inilah yang sebenarnya nampak jelas dalam beberapa hari terakhir. Semua perusahaan dan kegiatan sektor riil berjalan normal apa adanya, tetapi di dunia yang semu – Rupiah jatuh dan demikian pula bursa saham di seluruh dunia. Anehnya energi kita begitu banyak terbuang untuk merespon yang semu ini ketimbang menggerakkan yang nyata.
Di hari jatuhnya Rupiah menembus angka Rp 14,000/US$ dan harga saham juga jatuh, para pemimpin negeri ini dan pelaku usaha top berkumpul untuk berusaha menyelamatkan Rupiah dan pasar saham. Bahkan menteri BUMN serta merta menggerakkan kekuatan yang ada adalam kendalinya – yaitu para BUMN untuk menggelontorkan minimal Rp 10 trilyun untuk menyelamatkan bursa saham.
Tapi apa maknanya ini ? kalau toh para BUMN memiliki dana lebih begitu besar, apakah benar penggunaannya untuk menyelamatkan 1 atau 2 % IHSG yang memang sedang mengalami trend menurun bersama bursa-bursa saham dunia lainnya ? Apalah artinya 1- 2 % ini dibandingkan dana yang 10 trilyun tersebut ?
Mengapa tidak misalnya bila ada dana ngganggur yang begitu besar dipakai untuk menggerakkan sektor riil yang kini lagi haus modal ? Dunia pertanian kita yang tidak kunjung swasembada apalagi bersaing dengan industri pertanian negeri-negeri lain karena antara lain akses modal yang terbatas.
Kenapa tidak dipakai untuk membiayai pembibitan sapi – yang begitu banyak dagingnya dibutuhkan tetapi sangat-sangat sedikit yang mau melakukan pembibitan ini karena merupakan mata rantai peternakan sapi yang paling kecil margin keuntungannya – tetapi harus ada yang melakukannya.
Mengapa tidak dipakai untuk membuka lahan pertanian buah yang kita masih juga terus impor dengan laju yang semakin meningkat ? mengapa tidak untuk membiayai UKM yang justru menjadi andalan ekonomi ketika dunia lagi gonjang-ganjing ?
Pendek kata sangat banyak sektor riil yang bisa digerakkan dengan dana Rp 10 trilyun ini, belum lagi pada efek penciptaan tenaga kerjanya. Sementara ketika dana tersebut ditaburkan ke bursa saham yang memang lagi turun trend-nya, seperti menggarami lautan – nyaris tanpa efek. Kita mungkin hanya bisa sedikit berbangga bahwa bursa saham kita tidak seburuk bursa saham di negeri-negeri lainnya.
Tetapi dana Rp 10 trilyun-nya BUMN tersebut sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari miss orientasi penggunaan dana publik. Dari dunia perbankan bulan Agustus ini saja ada ekses likwiditas sebesar Rp 240 trilyun – sampai-sampai Bank Indonesia harus menambah instrumen baru yaitu SBI yang bertenor 9-12 bulan untuk menyerap ekses likwiditas tersebut.
Mengapa dana lebih BUMN, ekses likwiditas perbankan dan industri keuangan lainnya tidak fokus diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan dan mencegah kelaparan ? Mungkin dianggap kalau sektor riil itu dipandang beresiko tinggi dari kacamata para pengelola dana, maka wajar mereka memilih yang aman saja yaitu menaruh dananya di Deposito dan SBI.
Bayangkan situasi ini, ketika ekonomi sedang terengah-engah, lapangan pekerjaan terancam, infrastruktur belum banyak mengalami kemajuan, pasar dibanjiri barang impor, harga daging mahal dlsb – sementara ada modal yang begitu besar terkunci di brankas-nya BI sampai 9-12 bulan kedepan ?
Itu baru dana dari uang Anda yang ada di bank, bagaimana dengan dana pensiun Anda, uang asuransi Anda, dana hari tua Anda –semuanya bernasib sama – yaitu kalau tidak untuk nguyahi segoro pasar modal, ya tersimpan di deposito bank yang berujung di SBI tersebut.
Inilah akibatnya ketika kita terbius dengan ekonomi yang semu, kita teralihkan dari sesuatu yang nyata. Dampaknya adalah sementara para pemimpin ekonomi sibuk mempertahankan citra dan nilai semu Rupiah, setelah 70 tahun merdeka, 7 presiden berganti masih ada 27 juta lebih rakyat kita miskin dan bahkan menurut FAO 19.4 jutanya masih lapar dalam sebuah negeri subur yang kaya raya bumi dan lautannya.
Tapi yang salah kembali ke rakyat kayak kita-kita juga sebenarnya, mengapa kita terlalu mengandalkan mereka untuk mengelola uang kita. Kebanyakan masyarakat kita lebih memilih menabung di bank, reksadana, unit link, asuransi, dana pensiun dlsb – yang notabene menyerahkan dana kita untuk dikelola di sektor yang semu, ketimbang untuk belajar membangun usaha sendiri, belajar menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan dan mencegah kelaparan di sekitar kita.
Maka Allah-pun mempertanyakan : “Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar ? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, …” (QS 90 :11-14).
Apakah "melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan" itu ?
"Melepaskan budak dari perbudakan" bisa dimaksudkan menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kemakmuran dan mengentaskan kemiskinan. InsyaAllah bisa membebaskan perbudakan - penugasan untuk memakmurkan umat.
"Memberi makan pada hari kelaparan" bisa dimaksudkan membangun ketahanan pangan dengan memakmurkan bumi (dengan perkebunan, pertanian dan peternakan) - penugasan untuk memakmurkan bumi.
Tidak ada yang mudah memang, itulah sebabnya Allah sendiri menyebutnya jalan yang mendaki lagi sukar. Meskipun demikian kita rela dengan ikhlas menempuhnya karena kita hanya berharap akan ridloNya untuk kemudian menaruh kita di golongan kanan (QS 90:18). Aamiin.
Rating: 4.5
Reviewer: google.com
ItemReviewed: Renungan di akhir Agustus 2015