Pada tahun 2020 – tujuh tahun dari sekarang - menurut situsnya Permanent Culture Now, kekuatan-kekuatan ekonomi besar yang mendominasi dunia saat ini akan dibebani oleh hutang yang melebihi GDP masing-masing.
Karena setiap negara akan berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan negerinya sendiri, resiko perang dagang, perang dingin sampai perang yang sesungguhnya akan sulit kita bayangkan untuk saat itu.
Tetapi ada cara untuk menghentikan trend buruk ini, salah satunya adalah dengan berhenti berhutang ! Hal ini digambarkan dari kondisi hutang untuk beberapa negara dan trend-nya seperti Amerika – yang ekonominya sampai saat ini masih mendominasi dunia. Karena dominasi ini, negeri-negeri lain seolah menjadikannya sebagai lifestyle model – sehingga berhutang menjadi lifestyle baik di masyarakat, korporasi maupun negara.
Tetapi apa salahnya berhutang, bila bisa mengembalikannya ?. Yang berbahaya memang bukan hutangnya sendiri, tetapi di era kapitalisme itu hutang selalu disertai riba – disinilah masalahnya. Hutang yang disertai riba inilah yang membuat ekonomi biaya tinggi yang berujung pada hilangnya kemakmuran di seluruh dunia.
Perusahaan yang berhutang dan harus membayar bunga, mereka akan memasukkan biaya bunga ini ini pada biaya produksi baik itu barang ataupun jasa. Begitu seterusnya ketika produk tersebut akan dipasarkan oleh jaringan distribusi yang dibiayai dengan hutang berbunga – maka jaringan distribusi-pun menambahkan beban biaya bunganya pada produk yang akan dijual tersebut. Karena setiap mata rantai dari produsen, distributor, tansportasi, retailer dst. semua dibiayai dengan hutang yang berbunga dan masing-masing menambahkan biaya bunga pada produk yang akan dijual – maka harga produk menjadi jauh lebih mahal dari yang seharusnya.
Ditengah mahalnya produk yang dibebani mata rantai bunga tersebut, daya beli konsumen juga menurun karena beban hutang consumers yang juga melibatkan bunga – mulai dari credit card, cicilan rumah, cicilan mobil dlsb. Walhasil harga produk yang mahal tidak terjangkau oleh konsumen yang uangnya sudah banyak berkurang untuk membayar bunga.
Produk menjadi banyak yang tidak laku, dan perlu dicarikan pasarnya. Karena semua negara membutuhkan pasar yang seluas-luasnya, maka perebutan pasar inilah yang menimbulkan persaingan keras yang tidak sehat, negara-negara membanting ongkos produksi dengan menurunkan daya beli uangnya yang kemudian menimbulkan inflasi tinggi.
Karena semua negara melakukan hal yang nyaris sama, maka timbulah apa yang disebut tragedy of the common. Hal baik yang dilakukan satu pihak, menjadi musibah bila semua melakukannya.
Dampaknya defisit perdagangan akan melemahkan negara-negara yang dahulunya kuat, hutang terus melambung seperti pada ilustrasi tersebut diatas, kekacauan, perang dingin dan perang yang sesungguhnya menjadi sulit terelakkan.
Ketika negara terlibat perang, maka sebagian besar sumber daya yang ada akan dikerahkan untuk membiayai perang – walhasil rakyat yang sudah sengsara dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menjadi semakin sengsara ketika negerinya terlibat perang. Pertanyaannya adalah bagaimana menghentikan scenario yang buruk ini ?, salah satunya adalah menghentikan budaya hutang baik untuk skala negara, korporasi maupun individu.
Tetapi bagaimana misalnya secara konkrit mengatasi kebutuhan modal para korporasi yang memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat ?. PLS-Based Economy and the Wealth Creation… Hutang-hutang yang berbasis riba tersebut dapat digantikan dengan kerjasama bagi hasil dan berbagi resiko atau disebut Profit & Loss Sharing (PLS) – dalam Islam disebut Syirkah dalam berbagai jenisnya.
Produsen yang dibiayai dengan akad PLS, tidak perlu menambahkan ongkos atau beban bunga pada harga produknya. Bila semua jalur distribusi, transportasi sampai para retailer –nya tidak ada yang membebankan biaya bunga (karena semua didanai dengan kontrak PLS), maka secara keseluruhan harga produk sampai konsumen sama sekali tidak dibebani dengan biaya bunga.
Harga produk adalah harga apa adanya ditambah keuntungan yang wajar. Bila harga produk yang wajar ini dipertemukan dengan konsumen yang daya beli dari penghasilannya juga tidak digerus oleh berbagai beban bunga – maka akan ketemulah produk-produk yang terjangkau oleh masyarakat konsumennya.
Lho para pemodal (shahibul mal) kan perlu dialokasikan bagi hasil juga ? Betul, mereka mendapatkan bagi hasil yang wajar yang jumlahnya tidak dijanjikan di depan. Jumlahnya akan tergantung pada profit margin dari putaran barang atau jasa (turn-over), bukan pada tingginya harga jual.
Meskipun margin perdagangan sedikit – tetapi dari perputaran barang dagangan yang cepat – akan lebih baik hasil akhirnya bagi pemodal maupun pengusahanya sendiri. Karena produk habis terkonsumsi oleh pasar dalam negeri dan hanya sedikit saja yang perlu dipertukarkan antar negara, maka persaingan di pasar akan lebih sehat karena hanya produk-produk yang tidak dihasilkan oleh suatu negara saja yang perlu diimpor.
Harga-harga dalam jangka panjang akan lebih stabil karena tidak ada mark-up beban bunga, dan negara-negara tidak perlu terus menerus menurunkan daya beli uangnya hanya untuk bersaing antar negara (currency war).
Negara yang hanya mengimpor produk yang bener-bener tidak bisa dihasilkan oleh negerinya akan cenderung surplus neraca perdagangannya. Negara yang surplus akan bisa terus mengurangi beban hutangnya sampai akhirnya habis dan bisa menjadi negara tanpa hutang.
Negara tanpa hutang akan nyaman dengan ekonominya sendiri, tidak perlungrusuh negara lain. Dunia akan damai dan penduduknya akan merasakan kemakmuran.
Maka sungguh benar berita nubuwah dari Rasulullah SAW dalam hadits : ” Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnyatetapi dia idak mendapatkan seorangpun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur makmur kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai ” (HR. Muslim).
Bahwa umat ini akan memimpin kemakmuran dunia tersirat dari hadits tersebut diatas – laki-laki yang pergi kemana-mana sambil membawa harta zakatnya – siapakah yang sadar zakat ini selain seorang Muslim ?. Tetapi sebelum kemakmuran itu bener-bener datang, kita harus memulai hal-hal yang akan menjadi penyebab datangnya kemakmuran itu – salah satunya adalah ya berhenti berhutang !.
Rakyat seperti kita berhenti berhutang kecuali untuk hal yang bener-benar perlu, perusahaan berhenti berhutang dan menggantinya dengan pembiayaan PLS bila mereka perlu modal, dan negara-pun berhenti berhutang dalam membiayai segala kebutuhannya – insyaAllah masih banyak jalan bisa ditempuh asal ada kemauan politis yang kuat. InsyaAllah !.
Rumah Dinar
Description: Berhenti Berhutang adalah Awal Kemakmuran Umat
Rating: 4.5
Reviewer: google.com
ItemReviewed: Berhenti Berhutang adalah Awal Kemakmuran Umat